Pada hari jum’at, 11 november 2011. Pukul 15.30 WIB. kami ( Nurul Anwar Majid, Nala Pramudya Wardana, Akhmad Syauqi, Andre Zefri Resdianto, Nurhasanudin dan Lukman Hakim) berangkat ke Taman Nasional Meru Betiri dari Sekretariat SWAPENKA demi tugas survey untuk tempat DIKLATSAR XXIX SWAPENKA. Pukul 17.30 WIB. kami sampai di rumah Pak Mu’i salah satu penduduk Desa Curah Nangka dekat Taman Nasional Meru Betiri yang kami kenal, kami mampir dengan tujuan untuk menitipkan sepeda motor kami serta meminta informasi tentang jalur atau jalan setapak menuju pantai Bandi Alit melewati puncak Ajis (puncak yang kami nami sendiri karena kami tidak tahu nama sebenarnya) karena tiga dari tim survey sudah lam tidak melewati jalur tersebut, setelah memperoleh banyak informasi dari Pak mu’i kami pamitan untuk beristirahat di masjid dekat rumah pak mu’i.
Sabtu pagi, 12 November 2011 pukul 05.30 WIB kami beranjak dari tidur kami dan membersihkan tempat kami beristirahat kemudian kembali ke rumah Pak Mu’i karena barang-barang kami dititipkan di sana, ketika kami sudah siap untuk memulai survey tiba-tiba anak-anak Pak Mu’i menyuguhkan kami sarapan dan terpaksa kami sarapan terlebih dahulu karena sudah disiapkan dan tinggal makan. Selesai sarapan kamipun pamitan untuk melanjutkan survey lokasi DIKLATSAR XXIX SWAPENKA menyusuri jalan setapk dengan penuh semangat, sesampai di bendungan sungai kami berhenti untuk melihat posisi kami pada peta yang sudah kami siapkan dan bawa dari Sekretariat sembari beristirahat sejenak menikmati roti yang dibawa oleh mas Nala Pramudya Wardana. Setelah mengetahui posisi kami di peta, kami kemas kembali barang-barang yang dikeluarkan untuk orientering (pemetaan) tiba-tiba sapi warga yang di ikat di dekat kami melakukan pemetaan terlepas dari tali yang mengikatnya jadi kami pun lari untuk menghindari kemunkinan buruk yang kan terjadi sembari memberi tahu warga bahwa sapinya lepas.
Sesampai di Kali Ungkal kami berdiskusi untuk rencana tempat pengkondisian peserta sembari menikmati jernihnya air pegunungan yang masih asri. Setelah menentukan tempat pengkondisian kami melanjutkan perjalanan survey menyeberangi kali Ungkal tersebut, dua menit berjalan kami melewati hulu kali Ungkal tapi, sebelum melewati kali tersebut kami berdiskusi kembali untuk tempat tes packing peserta sembari mengisi botol air kami karena semakin ke atas air semakin sulit untuk di dapat meskipun di peta menunjukkan ada beberapa sungai lagi yang akan kami lewati tapi kami tidak mau mengambil resiko kehabisan air karena sungai yang ditunjukkan dalam peta terkadang bukanlah sungai permanen tapi terkadang hanya sungai yang ada ketika hujan turun saja. Selesai berdiskusi kami melanjutkan perjalanan untuk mencari tempat camp bagi peserta serta panitia nantinya pada waktu DIKLATSAR XXIX SWAPENKA berlangsung. Pukul 11.15 WIB. kami menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan tempat camp yaitu tempat yang datar, luas dan dekat dengan sumber mata ait. Setelah menentukan dan menetapkan tempat camp, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Ajis dengan menyusuri jalan setapak di lereng punggungan gunung. Sesampainya di tengah perjalanan kami menemukan jalan buntu karena jalannya tertutup oleh kayu yang roboh dan jalan setelahnya menghilang ditutupi oleh semak belukar karena sudah lama tidak dilewati oleh orang. Di sini sistem STOP ( Stop/berhenti, Thinking/berfikir, Observe/mengamati, Planing/merencanakan) kami terapkan dan pada akhirnya kami temukan jalan yang tertutup semak-semak, kami pun melanjutkan perjalanan kami menuji puncak Ajis melewati jalan setapak yang terjal. 30 menit kemudian Nurul Anwar Majid, Nala Pramudya Wardana, Nurhasanudin dan Saya tiba di puncak Ajis, sembari menunggu Akhmad Syauqi dan Lukman Hakim yang masih berusaha mendaki kami beristirahat dan mengeluarkan perlengkapan masak untuk membuat minuman hangat.
Pukul 13.00 WIB. setelah selesai menikmati minuman hangat kamipun melanjutkan perjalanan kami menuju sungai Watu Leker tapi setelah puncak Ajis jalan setapak yang kami lalui penuh dengan jalan yang bercabang dan kami harus menerapkan sistem STOP kembali di setiap pertigaan jalan setapak karena waktu pertama kali melewati jalan tersebut belum ada pertigaan sebanyak saat itu. Beberapa kali di setiap pertigaan jalan setapak kami terapkan sistem STOP kami selalu beruntung atau benar semua tapi stelah dua jam kemudian setelah melalui jalan setapak yang sudah tidak bercabang lagi kami menjumpai kebun kopi yang artinya ada satu pertigaan yang terlewati oleh kami dan kami kembali menerapkan sistem STOP. Untuk kali ini sistem STOP yang kami gunakan hanya mengacu pada P nya saja yaitu Planing/perencanaan. Dalam perencanaan ini, keputusan kami serahkan kepada anggota tim yang termuda dan koordinator operasional atau survey dengan memberikan berbagai sebab dan akibat terhadap pilihan yang akn dipilih yaitu, kita kembali mencari pertigaan jalan setapak yang terlewatkan dengan konsekwensi kita ngecamp di hutan jika kemalaman di camp serta mengusahakan survey kali ini berhasil atau kita teruskan jalan ini dengan konsekwensi survey kita tidak berhasil dan kita gagal melaksanakan tugas tanpa usaha yang berarti serta menuntut kita untuk bekerja keras ketika kita survey yang kedua. Mereka sepakat kembali mencari pertigaan yang terlewatkan.
Pukul 15.30 WIB. kami kembali mencari pertigaan yang terlewatkan dengan kesepakatan mencari mata air dalam perjalanan karena persediaan air kami sudah menipis dan ada kemunkinan kami kemalaman di hutan. Setelah berjalan begitu jauh kami akhirnya menemukan sungai mati yang memiliki sumber mata air kecil namun bermanfaat bagi kami dan dengan ini sabar kami mengisi air dari mata air itu. Setelah botol terisi penuh air kami melanjutkan perjalanan hingga kami sadar kalau kami ternyata sudah dekat dengan puncak Ajis karena pertigaan yang kami temui adalah pertigaan keitga yang sangat dekat dengan puncak. Dengan keadaan mental masing-masing anggota tim yang mulai menurun, seperti nurhasanudin yang ingin melanjutkan perjalanan meskipun waktu yang kami miliki hanya 30 menit dari kesepakatan untuk camp, sebaliknya Lukman Hakim sudah terlihat lelah dan tidak semangat lagi untuk berjalan, akhirnya Akhmad Syauqi, nala Pramudya Wardana dan saya sendiri memutuskan untuk ngecamp di dekat puncak meskipun tempatnya agak miring karena di puncak tempatnya tidak memenuhi syarat untuk mendirikan camp yaitu adanya rumah semut di tengah tempat camp, ada pohon yang rapuh dan di sana merupakan jalan.
Setelah menentukan tempat camp, anggota tim kami bagi untuk mempercepat istirahat yaitu dua orang mendirikan tenda untuk tempat berlindung dari serangan serangga atau binatang dimalam hari, tiga orang memasak dan saya sendiri menyiapkan perapian ( api unggun) agar pada saat nyantai setelah makan tidak kedinginan, setelah makan kami beristirahat sejenak menikmati api unggun sembari merokok. Setelah dirasa cukup istirahat dan pikiran tenang, brifing unuk langkah-langkah untuk meneruskan tugas esok hari dimulai dengan menghubungi mas Faisal dari tempat kami ngecamp karena kebetulan di sana kami masih bisa mendapatkan sinyal dari salah satu operator telephone sellular berusaha meminta petunjuk jalan yang benar karena dia adalah orang yang cukup paham dengan jalur yang akan kami lewati esok hari tapi ternyata kami tidak mendapatkan balasan jadi kami harus berusaha sendiri untuk menemukan jalan yang benar. Pada malam itu kami berdiskusi sembari membaca peta selama 30 menit dan menghasilkan kesepakatan esok hari jam 06.00WIB. berkemas dengan batasan 1 jam harus berangkat untuk melanjutkan perjalanan menemukan jalan setapak yang hilang atau terlewatkan dan menuju ke arah tenggara tampa masak atau sarapan sampai menemukan sungai atau mata air karena air yang kami miliki sangat terbatas dan tidak cukup jika digunakan masak untuk sarapan.
Setelah brifing, barang-barang yang berserakan setelah makan dan perlengkapan lainnya kami taruh di dalam tenda untuk mencegah kemungkinan hilang karena ada orang lewat atau ada hewan yang bisa membawa barang kami karena di dalam tas kami terdapat makanan, dan kamipun segera tidur untuk memulihkan tenaga karena kami harus berusaha keras menemukan jalan yang benar dan fikiran kami akan banyak menguras tenaga dari pada perjalanannya, Ketika teman-teman sudah terlelap dalam tidur, saya mengalami kesulitan untuk tidur karena tempat untuk tidur sesak dan tanahnya miring sehingga saat tidur tidak bisa bergerak bebas dan khawatir lintah menghisap darah karena saat brifing beberapa teman termasuk saya sudah menjadi korban dari lintah yang suka menghisap darah dan Lukman hakim saat tidur kaget karena di kakinya sudah ada lintah yang menghisap darahnya jadi dari kejadian itu saya semakin khawatir hingga saya pasrah agar bias tidur dengan nyenyak. Ketika sudah terlelap, saya bangun karena mendengar tetesan air embun yang terkumpul di dedaunan jatuh ke tenda seperti hujan meskipun hanya tetesan air embun.
Minggu, 13 november 2011. Pukul 06.00 WIB. kami beranjak dari tidur kami dan langsung berkemas sesuai dengan hasil brifing semalam, 30 menit kemudian kami telah selesai berkemas namun kami masih santai karena kesepakatan yang kami buat pukul 07.00 WIB. adalah start untuk melanjutkan perjalanan maka kami masih santai menikmati keindahan hutan yang berembun dipagi hari hingga 30 menit kedepan. Pukul 07.00WIB kami memulai perjalanan kami menemukan jalan yang benar sesuai dengan target yang telah direncanakan dari awal. Sampai di tempat yang ditumbuhi oleh ilalang kami mencoba memeriksa apakah di sana/di balik ilalang tersebut terdapat jalan dan ternyata di sana terdapat jalan setapak namun hilang setelah terdapat tebing, jadi tidak mungkin jalan tersabut adalah jalan yang kami cari maka kamipun kembali menyusuri jalan setapak yang ada hingga sampai di rimbunan bambu hutan kami kembali memeriksanya dan ternyata di sana ada bekas jalan setapak namun setelah diperiksa lebih jauh ternyata buntu juga, jadi kami melanjutkan menyusuri jalan setapak tadi hingga pada akhirnya Nurhasanudin yang berjalan didepan menemukan jalan setapak yang ternyata kemaren terlewatkan jadi kami menyusuri jalan tersebut namun setelah berjalan jauh ternyata jalannya menghilang, kami pun melakukan STOP karena kami yakin itu adalah jalan yang benar karena tanda-tanda alam yang dikenal seperti kayu besar yang tumbang dan lubang mirip sumur sudah kami lewati. Setelah berdiskusi kami memutuskan untuk membuat jalan sendiri menuju tenggara dan menyusuri rimbunnya tumbuhan disebelah kiri punggungan. Karena rimbunnya bambu di depan kami membuat teman-teman kelelahan untuk membuat jalan lagi dan memutuskan untuk kembali namun kembalipun jalannya sangat sulit jadi kami memutuskan untuk istirahat sejenak sembari makan mie yang seharusnya dimasak karena kami belum makan dari pagi, setelah masing-masing dari kami menghabiskan mie kami memaksa membuat jalan dengan menebas rerimbunan bambu yang ada di depan kami hingga pada akhirnya terbuka jalan terang yang tak begitu rimbun lagi.
Lama berjalan kami menemukan sungai mati namun masi ada sumber mata air meskipun mengalirnya sangat kecil namun itu sudah menjadi berkah yang sangat besar bagi kami yang sudah dari pagi kekurangan air minum. Meskipun memerlukan kesabaran untuk mengisi botol-botol air kami, pada akhirnya setelah 15 menit botol-botol kami terisi penuh semua dan kami pun melanjutkan perjalanan menuju ke arah selatan mencari sungai Watu Leker. 30 menit berjalan dari tempat mengambil air kami beristirahat membuat minuman hangat agar pikiran jernih dan peredaran darah lancar. Sembari istirahat menikmati minuman hangat tersebut kami berdiskusi merencanakan perjalanan yang akan kami tempuh, selesai minum dan istirahat kami beranjak melanjutkan perjalanan mengikuti bekas bacokan pada pohon dan bekas tebangan pada tumbuhan kecil karena jika kita mengikutinya maka itu akan membawa kita keluar dari hutan. 30 menit mengikuti bacokan dan tebangan tersebut ternyata jalan kami tembus ke perkebunan kopi yang sudah tidak terawat dan kami sudah gagal menemukan jalan yang benar karena dalam rencana kami tidak ada perkebunan kecuali sudah menyebrangi sungai jadi, kami memutuskan mencari sungai saja dan menghentikan survey yang kami lakukan. Kami menuruni tebing di pinggir kebun tersebut dengan tujuan mencari sungai saja karena kami sudah merasa kelelahan dan ingin berenang di sungai saja.
Saat berada di kebun kopi tersebut kami memutuskan untuk menuju ke arah barat karena desa terdekat pasti berada di arah barat. Setelah berjalan sejauh + 200 meter ternyata jalannya menanjak dan kami merasa tidak sanggup untuk naik hingga pada akhirnya saya mengikuti bekas jalan banteng turun dan bilang kalau di sana ada jalan menuju ke bawah yang pasti di bawah ada sungai, teman-temanpun ikut turun karena uda malas untuk naik, ternyata banteng-banteng yang meninggalkan jejaknya hanya turun sampai di kebun bawah yang terdapat sungai kecil yang airnya pun sedikit tapi bisa untuk minum mereka. Untuk kembali ke atas sudah terlalu jauh yang memaksa kami untuk membuat jalan sendiri untuk keluar dari hutan atau menemukan sungai yang lebih besar untuk mandi atau masak makanan. Setelah + 2 jam lamanya kami menerobos rimbunnya pepohonan jeruk yang berduri akhirnya kami menemukan sungai besar yang bisa kami gunakan untuk mandi dan menggunakan sebagian dari airnya untuk masak makanan karena dari pagi kami hanya makan mie instan yang diremes tapi pada kenyataannya teman-teman merubah rencananya untuk masak, kami hanya mandi saja dan memutuskan masak jika sudah menemukan perkampungan atau sudah pukul 17.00 WIB tapi ternyata kami menemukan desa Sumber Gadung dan mampir di salah satu warga yang kami kenal adalah rumah Pak Ali dan kami pun numpang berteduh karena mulai gerimis, saat di rumah Pak Ali kami berniat untuk masak tapi istri Pak Ali memaksa untuk memasakkan kami dengan bahan masakan yang kami punya jadi kami tinggal menunggu masak saja dan hanya membuat minuman hangat saja sembari menunggu makanan tersaji.
Satu jam setelah makan yaitu jam 19.00 WIB. kami meneruskan perjalanan menuju pantai karena kami terlalu lelah untuk pulang ke Jember dan kami memilih untuk ikut anak EGALITARIAN (organisasi pencinta alam Universitas Islam Jember) saja pulangnya yang kebetulan malam itu sudah berada di Pantai menjalani kegiatan DIKLATSAR di Taman Nasional Meru Betiri yang berakhir di Pantai Bande Alit besok atau hari senin, 14 November 2011. 30 menit bejalan ternyata kami sudah sampai di desa Cawang yang seharusnya ditempuh 1 jam perjalanan dengan berjalan kaki tapi kami lebih cepat 30 menit mungkin karena sudah gelap dan keadaan sepi menyeramkan bagi teman-teman termasuk saya sendiri yang merasa sedikit takut. Sampai di desa tersebut kami mencoba mencari WARTEL karena sinyal telepon cellular di sana yang ada hanya sinyal dari telepon ceria saja dan itupun hanya orang tertentu yang memilikinya jadi kami harus menemukan orang yang memilikinya untuk menghubungi saudara-saudara kami yang menunggu kabar dari kami karena rencana survey kami hanya sampai hari minggu. Sampai di salah satu toko yang ada di desa tersebut kami tanya siapa yang memiliki telepon tersebut dan ternyata tetangga depan pemilik toko tersebut yang memilikinya, jadi mas Nala dan Nurhasanudin yang menghubungi sudara-saudar di jember karena mereka juga ada kepentingan lain selain menghubungi Saudara-saudara di jember.
Selesai menghubungi saudara-saudara di jember kami melanjutkan perjalanan menuju ke pantai yang jaraknya masih 4 KM yang memakan waktu 2 jam namun lagi-lagi kami bisa lebih cepat 1 jam. Sampai di pos pantai kami mampir karena kami sudah akrab dengan penjaga pos tersebut yaitu Pak Budi. Di sana kami cerita kalau kami sudah dua hari berada di hutan dan ternyata yang rencananya camp di pantai tidak jadi karena Pak Budi memaksa kami untuk bermalam di posnya karena beliau sendiri hanya sendirian saja menjaga pos tersebut. Saat kami tanya tentang keberadaan anak EGALITARIAN ternyata mereka masih belum tembus pantai. Sembari mendengarkan cerita dari Pengalaman Pak Budi, satu persatu dari kami gantian mandi di kamar mandi yang terdapat di pos tersebut. Selesai mandi semua tak lama Anak EGALITARIAN datang juga tapi hanya panitia yang bertugas mengurusi surat ijin kegiatan dengan membawa 2 peserta DIKLATSAR karena keadaannya yang kurang fit. Beberapa menit kami menata tempat tidur untuk istirahat kami tapi setelah anak EGALITARIAN datang rencana tidur kami terganggu karena salah satu dari peserta DIKLATSAR EGALITARIAN yaitu Ceker (nama lapang anak Pencinta Alam) yang memiliki penyakit asma kambuh yang butuh tempat untuk penanganan medis dan sayapun membantu untuk meredakan rasa sakitnya karena saya sendiri sedikit memiliki kemampuan/pengetahuan dalam menangani keadaan seperti itu dari pelatihan yang saya ikuti di Surabaya. Sekitar 1 jam akhirnya korban berhasil sembuh dan kemudian beristirahat. Melihat korban sudah sembuh, saya mencoba untuk tidur meskipun Pak Budi masih asik bercerita dengan teman-teman. Tak lama kemudian Nyit (nama panggilan akrab) atau teman anak EGALITARIAN yang sebelumnya menolong temannya yang asma tiba-tiba penyakit jantungnya kambuh jadi dengan kesadaran hati saya membantunya untuk meredakan rasa sakitnya juga, 1 jam berlalu teman akrab dari korban menangis karena takut dan khawatir terhadap keadaan temannya dan memilih untuk menyerahkan Nyit ke Jangkrik (nama lapang anak Pencinta Alam) yang kebetulan teman akrab Nyit juga, 1 jam kemudian Nyit pingsan tidak tahan menahan rasa sakitnya dan saya menyarankan untuk membiarkan dia dalam keadaan pingsan saja dulu namun tetap memperhatikan nafas dan detak jantungnya dan hasilnya setelah Nyit sadar, dia sudah kembali kekeadaan sehat namun masih butuh istirahat untuk memulihkan keadaannya.
Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 03.00 WIB. saya masih belum tidur dan saat mencoba untuk tidur, 3 peserta DIKLATSAR EGALITARIAN yang tadinya sakit karena sudah sembuh maka panitia (jangkrik) menginstruksikan mereka untuk bergabung dengan peserta lainnya di pantai untuk menyelesaikan serangkaian acara DIKLATSAR. Karena ketiga peserta tersebut adalah perempuan maka saya khawatir mereka takut dan ada apa-apa di jalan menuju pantai karena jalan menuju pantai masih jauh dan masih hutan liar, jadi saya memutuskan untuk membantu panitia untuk mengantarkan mereka sampai ke pantai ternyata sampai di pantai saya baru sadar melakukan kesalahan tidak membawa matras karena saya sendiri merasa takut untuk kembali ke pos sendirian melihat keadaan masih gelap gulita dan ingat kalau dulu mas cipok (nama lapang anak Pencinta Alam) diganggu pocong di tengah-tengah jalan antara pos menuju pantai jadi saya memutuskan untuk tidur di pantai saja meskipun tanpa memakai alas namun saat sudah terlelap di pantai, alam tidak bersahabat pada saya, gerimis membuat saya terbangun dari tidur saya yang memaksa saya untuk kembali ke pos meskipun keadaan masi gelap. Saat berjalan di tempat mas cipok bertemu dengan pocong tersebut saya tidak berani untuk menoleh ke kanan kiri ataupun ke belakang dan terus saja berjalan namun jalan tersebut terasa sangat jauh, mungkin karena saya merasa takut atau memang jauh.
Ketika sudah samapi di pos ternyata mas Nala, Lukman Hakim dan Nurhasanudin pergi ke pantai namun tidak berpapasan dengan saya jadi saya mencoba untuk tidur lagi saja karena tidur di pantai hanya sebentar saja, namun di sana saya tidak bisa tidur karena nyamuk mengganggu di telinga. Beberapa lama kemudian teman-teman yang ke pantai datang dan mas Nala usil mengganggu saya yang sedang mencoba untuk pergi ke alam tidur hingga Nyit yang tadinya tidur di kasur empuk tempat yang saya inginkan untuk tempat tidur terbangun dari tidurnya dan ingin pergi ke pantai, jadi dengan cepat saya menggantikan posisinya namun tetap saja tidak bisa tidur karena Nyit yang tadinya ingin pergi ke pantai tidak jadi karena tenaganya masih belum pulih yang disebabkan penyakitnya kambuh dan berbaring di samping saya sembari mengucapkan terima kasih karena saya membantu dia waktu dia kambuh. Ketika asyik ngobrol dia bertanya tempat kuliahnya di mana? Dan saya jawab “ di UNEJ Fak. Sastra” dan dia bertanya kembali “ Kenal sama Irawan ?”, “kenal” Jawab saya kemudian dia bertanya kembali “Tahu gak waktu Irawan cerita tentang pacarnya waktu di tanya oleg dosennya mau bercerita apa di tulisannya?” “Iya” jawab saya, kemudian dia bercerita kalu yang diceritakan irawan itu adalah dia dan saya merasa kaget dan sangat beruntung karena saat Irawan bercerita tentang dia saya merasa sangat terharu dengan ceritanya.
Selesai bercerita dia pergi ke kamar mandi untuk membasuh muka agar lebih segar dan saya pun mencoba untuk tidur namun beberapa menit berlalu saat saya sudah terlelap dalam tidur, dia membangunkan saya karena kegiatan anak EGALITARIAN sudah selesai dan langsung menuju ke desa Cawang karena truk yang mereka tumpangi menunggu di sana dan di sana juga mereka sarapan di rumah salah satu anggota baru EGALITARIAN namun kami hanya bialng iya dan melanjutkan tidur kami hingga mereka meninggalkan kami yang tidur dengan pulas. Saat kami bangun dari tidur, kami kaget karena anak EGALITARIAN sudah tidak ada di sana. Melihat keadaan itu kami pun beranjak dari tempat tidur merapikan tempat tidur dan berkemas untuk menyusul ke desa Cawang. Ketika semuanya sudah siap kami masih ditahan dengan cerita Pak Budi yang selalu menarik untuk didengarkan dan menunggu sampai ceritanya selesai. Ketika sudah selesai kami pamitan untuk mengejar anak EGALITARIAN ke desa Cawang, ternyata kami masih beruntung karena 10 menit jalan terburu-buru, ada sebuah truk memuat kelapa dari kebun menuju ke desa Cawang dari belakang kami dan kami berinisiatif untuk ikut jadi saya memberhentikan truk tersebut dan mohon untuk diberikan tumpangan ke desa Cawang dan sopirnyapun tidak keberatan untuk mempersilahkan kami ikut. Sampai di desa Cawang kami langsung disuruh makan karena anak EGALITARIAN sudah makan semua. Setelah makan nyantai sebentar dan langsung pulang ke Jember.
permisi.... numpang lewat
BalasHapus